SESUATU yang berlebih-lebihan dan membahayakan jiwa itu tidak baik. Bahkan jika itu
adalah agama. Agama memang baik bagi semua orang, tapi beragama dengan melewati
batas-batas dan mengabaikan keselamatan jiwa justru akan merusak sendi-sendi agama itu sendiri.
Shalat memang baik. Makan juga. Minum apalagi. Tapi apabila
semua itu dilakukan secara berlebihan, tentu akan menjadi tidak baik. Meskipun agama
memerintahkan, tetapi apabila pelaksanaannya berlebihan maka sangat mungkin
perintah itu malah menimbulkan kerusakan.
Ada sebuah hadis yang diriwayatkan Anas r.a.. Dia bercerita
bahwa ada tiga orang yang datang menemui istri-istri Nabi untuk menanyakan
tentang ibadahnya Nabi. Istri-istri Nabi pun menceritakan bahwa meski sejak
kecil sudah dijamin masuk surga, tetapi Rasulullah tetap melaksanakan ibadah
dengan berat. Sangat jauh dibanding mereka.
Lalu orang pertama pun bertekad akan shalat malam terus
menerus. Orang kedua bertekad akan puasa sepanjang tahun tanpa henti. Dan orang
ketiga berjanji akan menjauhi perempuan dan tak akan menikah selamanya.
Ketika mendengar ketiga orang itu, Nabi bersabda, “Benarkah
kalian yang mengatakan akan shalat malam terus menerus, akan berpuasa setiap
hari, dan tidak akan menikah selama hidup? Bukankah, demi Allah, aku orang yang
paling takut di antara kalian kepada Allah dan paling bertakwa kepada-Nya,
namun demikian aku shalat malam dan juga tidur, aku berpuasa dan juga tidak
berpuasa, dan aku menikahi wanita? Barangsiapa tidak menyukai sunahku maka ia
bukan golonganku” (HR Bukhori dan Muslim).
Hadits ini mengajarkan bahwa dalam urusan ibadah sekalipun,
kita tidak bisa terlalu memberatkan fisik dan merusak kesahatan. Ibadah akan dilarang
jika ia bisa membahayakan keselamatan diri. Dengan begitu, ibadah yang
dilakukan secara berlebih-lebihan hingga mencelakai diri sendiri tidak
dibenarkan dalam Islam. Lebih-lebih, ibadah yang dapat membahayakan keselamatan
jiwa, baik diri sendiri maupun orang lain.
Dalam kulliyat al-khamsah (lima prinsip universal) kita
mengenal prinsip dasar yang menjadi pegangan umat Islam melaksanakan
syariat Islam. Yang pertama dan yang utama adalah hifdz an-nafs (menjaga jiwa).
Prinsip menjaga keselamatan jiwa ini menjadi pokok bagi seluruh ibadah dan
kehidupan yang diatur menurut agama. Juga menjadi pokok bagi empat prinsip
lainnya (hifdz al-diin atau menjaga agama, hifdz al-‘aql atau menjaga
akal, hifdz al-nasl atau menjaga keturunan, dan hifdz al-mal menjaga
harta.
Imam asy-Syatibi mengatakan bahwa Allah menurunkan syariat
(aturan hukum) tiada lain selain untuk menghasilkan kemaslahatan dan
menghindari kemudaratan (jalbul mashalih wa dar’ul mafasid). Jadi untuk
apa aturan-aturan Allah (syariat) diturunkan? Jawabannya adalah untuk kemaslahatan
manusia. Jadi syariat diturunkan bukan untuk syariat, atau aturan tidak
diturunkan untuk aturan. melainkan untuk kebaikan manusia. Sehingga dalam pelaksanaannya,
aturan sama sekali tidak boleh mengabaikan keselamatan manusia.
Al-Syathibi kemudian membagi maslahat tersebut menjadi tiga
bagian yaitu dharuriyyat (primer), hajiyyat (sekunder)
dan tahsiniyat (tersier). Maslahat dharuriyyat atau kemaslahatan yang
utama adalah sesuatu harus ada demi terwujudnya kemaslahatan agama dan dunia. Dan
untuk menegakkannya, perlu lima pilar atau lima prinsip yang kemudian disebut kulliyat al-khomsah.
Menjaga jiwa bukan melulu tentang makan dan minum, akan
tetapi juga menghindari penyebaran virus berbahaya yang sekarang sedang
melanda. Membatasi diri dengan tidak berkerumun di masjid atau tajug
untuk beribadah adalah salah satu ikhtiar dalam rangka menegakkan prinsip hifdz
al-nafs. Bisa dikatakan, menegakkan hifdz al-nafs bahkan dengan phycical
distancing atau social distancing seperti ini bahkan jauh lebih utama
dan harus didahulukan dibandingkan dengan ibadah ritual itu sendiri. Toh,
ibadah masih tetap bisa dilakukan di dalam rumah.
Dalam kaidah fiqh dikenal juga prinsip utama la dharara
wala dhirar (tidak boleh menciptakan bahaya bagi diri sendiri dan
membahayakan orang lain). Pada situasi pagebluk Covid-19 seperti ini, berkerumun
untuk beribadah berjamaah di dalam masjid, menggelar majelis taklim, pengajian dan
sebagainya, bisa menimbulkan kemadharatan bagi diri dan orang lain. Sehingga lebih
baik hal seperti itu tidak dilakukan terlebih dulu untuk sementara waktu,
karena adh-dhararu yuzal (bahaya harus dihilangkan).
Begitupun, kegiatan perkumpulan lain selain ibadah juga
tidak diperbolehkan sebagaimana yang disarankan pemerintah. Adapun jika ada
keperluan yang mendesak, seperti untuk mencari kebutuhan hidup, berbelanja
makanan, minuman, dan sebagainya, maka diperbolehkan dalam rangka untuk
menegakkan hifdz an-nafs. Dengan catatan, orang yang terpaksa keluar
tersebut menggunakan masker dan standar yang sudah dikeluarkan pemerintah.[]
Komentar
Posting Komentar