Langsung ke konten utama

Beribadah dengan Tidak Membahayakan Jiwa



SESUATU yang berlebih-lebihan dan membahayakan jiwa itu tidak baik. Bahkan jika itu adalah agama. Agama memang baik bagi semua orang, tapi beragama dengan melewati batas-batas dan mengabaikan keselamatan jiwa justru akan merusak sendi-sendi agama itu sendiri.

Shalat memang baik. Makan juga. Minum apalagi. Tapi apabila semua itu dilakukan secara berlebihan, tentu akan menjadi tidak baik. Meskipun agama memerintahkan, tetapi apabila pelaksanaannya berlebihan maka sangat mungkin perintah itu malah menimbulkan kerusakan.

Ada sebuah hadis yang diriwayatkan Anas r.a.. Dia bercerita bahwa ada tiga orang yang datang menemui istri-istri Nabi untuk menanyakan tentang ibadahnya Nabi. Istri-istri Nabi pun menceritakan bahwa meski sejak kecil sudah dijamin masuk surga, tetapi Rasulullah tetap melaksanakan ibadah dengan berat. Sangat jauh dibanding mereka.

Lalu orang pertama pun bertekad akan shalat malam terus menerus. Orang kedua bertekad akan puasa sepanjang tahun tanpa henti. Dan orang ketiga berjanji akan menjauhi perempuan dan tak akan menikah selamanya. 

Ketika mendengar ketiga orang itu, Nabi bersabda, “Benarkah kalian yang mengatakan akan shalat malam terus menerus, akan berpuasa setiap hari, dan tidak akan menikah selama hidup? Bukankah, demi Allah, aku orang yang paling takut di antara kalian kepada Allah dan paling bertakwa kepada-Nya, namun demikian aku shalat malam dan juga tidur, aku berpuasa dan juga tidak berpuasa, dan aku menikahi wanita? Barangsiapa tidak menyukai sunahku maka ia bukan golonganku” (HR Bukhori dan Muslim).

Hadits ini mengajarkan bahwa dalam urusan ibadah sekalipun, kita tidak bisa terlalu memberatkan fisik dan merusak kesahatan. Ibadah akan dilarang jika ia bisa membahayakan keselamatan diri. Dengan begitu, ibadah yang dilakukan secara berlebih-lebihan hingga mencelakai diri sendiri tidak dibenarkan dalam Islam. Lebih-lebih, ibadah yang dapat membahayakan keselamatan jiwa, baik diri sendiri maupun orang lain.

Dalam kulliyat al-khamsah (lima prinsip universal) kita mengenal prinsip dasar yang menjadi pegangan umat Islam melaksanakan syariat Islam. Yang pertama dan yang utama adalah hifdz an-nafs (menjaga jiwa). Prinsip menjaga keselamatan jiwa ini menjadi pokok bagi seluruh ibadah dan kehidupan yang diatur menurut agama. Juga menjadi pokok bagi empat prinsip lainnya (hifdz al-diin atau menjaga agama, hifdz al-‘aql atau menjaga akal, hifdz al-nasl atau menjaga keturunan, dan hifdz al-mal menjaga harta.

Imam asy-Syatibi mengatakan bahwa Allah menurunkan syariat (aturan hukum) tiada lain selain untuk menghasilkan kemaslahatan dan menghindari kemudaratan (jalbul mashalih wa dar’ul mafasid). Jadi untuk apa aturan-aturan Allah (syariat) diturunkan? Jawabannya adalah untuk kemaslahatan manusia. Jadi syariat diturunkan bukan untuk syariat, atau aturan tidak diturunkan untuk aturan. melainkan untuk kebaikan manusia. Sehingga dalam pelaksanaannya, aturan sama sekali tidak boleh mengabaikan keselamatan manusia.

Al-Syathibi kemudian membagi maslahat tersebut menjadi tiga bagian yaitu dharuriyyat (primer), hajiyyat (sekunder) dan tahsiniyat (tersier). Maslahat dharuriyyat atau kemaslahatan yang utama adalah sesuatu harus ada demi terwujudnya kemaslahatan agama dan dunia. Dan untuk menegakkannya, perlu lima pilar atau lima prinsip yang kemudian disebut kulliyat al-khomsah.

Menjaga jiwa bukan melulu tentang makan dan minum, akan tetapi juga menghindari penyebaran virus berbahaya yang sekarang sedang melanda. Membatasi diri dengan tidak berkerumun di masjid atau tajug untuk beribadah adalah salah satu ikhtiar dalam rangka menegakkan prinsip hifdz al-nafs. Bisa dikatakan, menegakkan hifdz al-nafs bahkan dengan phycical distancing atau social distancing seperti ini bahkan jauh lebih utama dan harus didahulukan dibandingkan dengan ibadah ritual itu sendiri. Toh, ibadah masih tetap bisa dilakukan di dalam rumah.

Dalam kaidah fiqh dikenal juga prinsip utama la dharara wala dhirar (tidak boleh menciptakan bahaya bagi diri sendiri dan membahayakan orang lain). Pada situasi pagebluk Covid-19 seperti ini, berkerumun untuk beribadah berjamaah di dalam masjid, menggelar majelis taklim, pengajian dan sebagainya, bisa menimbulkan kemadharatan bagi diri dan orang lain. Sehingga lebih baik hal seperti itu tidak dilakukan terlebih dulu untuk sementara waktu, karena adh-dhararu yuzal (bahaya harus dihilangkan).

Begitupun, kegiatan perkumpulan lain selain ibadah juga tidak diperbolehkan sebagaimana yang disarankan pemerintah. Adapun jika ada keperluan yang mendesak, seperti untuk mencari kebutuhan hidup, berbelanja makanan, minuman, dan sebagainya, maka diperbolehkan dalam rangka untuk menegakkan hifdz an-nafs. Dengan catatan, orang yang terpaksa keluar tersebut menggunakan masker dan standar yang sudah dikeluarkan pemerintah.[]

Komentar

Terpopuler

Menstrual Taboo dan Budaya Berhijab

DALAM beberapa literatur Yahudi dijelaskan bahwa penggunaan kerudung berawal dari peristiwa “dosa asal” yaitu saat Hawa menggoda Adam untuk memetik buah khuldi, yang membuat mereka terusir dari surga. Akibatnya, dalam kitab Talmud disebutkan, Adam dan Hawa mendapatkan kutukan berupa sepuluh penderitaan. Salah satu kutukan itu terhadap perempuan adalah bahwa dia mengalami menstruasi. Karena itu, perempuan yang sedang menstruasi dianggap sedang dalam masa tabu dan darah menstruasinya dianggap sebagai darah tabu. Franz Steiner dan Evelyn Red, sebagaimana yang dikutip Alifathri Adlin mengatakan kata “tabu” berasal dari rumpun Polynesia. Kata “ ta ” berarti tanda atau simbol dan kata “ pu ” atau “ bu ” adalah keterangan tambahan yang menggambarkan kehebatan. Tabu lalu diartikan sebagai tanda yang sangat kuat. Sering juga disebut dengan “tidak bersih” ( unclean ) meski juga identik dengan kata “suci” ( holy ) dan “pamali” ( forbidden ). Sedangkan menurut Sigmund Freud, orang atau benda

4 Alasan Mengapa Korban Kekerasan Seksual Enggan Melapor

Seksualitas acap kali masih dianggap barang tabu dan tak pantas untuk kita diskusikan.  Padahal saban kali kita melihat berita, baik di medsos ataupun televisi, ada saja kasus kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan dan anak. Mau sampai kapan kita diam melihat begitu banyak korban kekerasan seksual terjadi? Pelecehan seksualitas bisa dialami siapa saja terlepas dari jenis kelamin, umur, pendidikan, agama, etnis, latar belakang maupun status sosial. Meskipun sampai saat ini korban terbanyak adalah perempuan dan anak. Dalam catatan tahunan 2019, Komnas Perempuan mengungkapkan ada 3.915 kasus pelecehan seksual di ranah publik atau masyarakat. 64% kekerasan terhadap wanita di Ranah Publik atau Komunitas itu adalah Kekerasan Seksual yaitu Pencabulan (1.136), Perkosaan (762) dan Pelecehan Seksual (394). Sementara itu persetubuhan sebanyak 156 kasus. Sayangnya dari banyaknya data pelecehan seksual yang dialami perempuan, sedikit perempuan yang berani melapor k